Tumbangnya Islamic State Iraq and Syiria (ISIS) di medan perang atau central of gravity pasca penyerbuan oleh tentara sekutu Amerika Serikat, Rusia, dan Irak, semestinya turut melemahkan pergerakan para anggota dan simpatisannya di seluruh dunia, terlebih di Indonesia.
Sebelum keruntuhan, ISIS memiliki wilayah jajahan seperti Aleppo, Idlib, Mosul dan beberapa wilayah Timur Tengah. Penggunaan nama “Negara Islam” dan konsep kekhalifahan oleh kelompok ini dikritik secara luas. PBB, NATO, berbagai negara, dan sejumlah kelompok Muslim besar menolak keduanya. Hal ini menimbulkan kecaman dari pihak ISIS dengan memberikan label sebagai negara thogut, negara kafir, dan wajib diperangi.
Baca juga : NKRI Menolak Radikalisme, Titik
Peta Terbaru Kelompok Teroris di ASEAN
Saat mengeluarkan maklumat perang terhadap negara-negara thogut, sejak saat itu kelompok ISIS menjadi musuh utama di seluruh negara. Hingga organisasi seperti Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) memasukan dalam daftar hitam sebagai kelompok teroris paling berbahaya. Bak gayung bersambut, DK PBB atau Dewan Keamanan PBB, kelompok semi militer yang berangotakan berbagai negara dari seluruh dunia, dikerahkan untuk memerangi kelompok ISIS di Irak dan Suriah.
Pada Maret 2019, merupakan tahun terakhir dan mimpi buruk bagi kelompok ISIS mengibarkan bendera perangnya. Pasca penyerbuan oleh pasukan SDF dan sekutunya terpaksa harus takluk dan lari keberabagi wilayah sebagai bentuk kekalahan kelompok tersebut. Pasukan SDF menyatakan bahawa Baghouz berhasil dikuasai kembali dan mengumumkan kekalahan total ISIS di Suriah. Bendera kuning SDF akan dikibarkan di gedung-gedung Baghouz sebagai buktinya. “Pasukan Demokratik Suriah menyatakan pembersihan total atas hal yang disebut kekhalifahan dan 100 persen kekalahan teritorial ISIS,” tegas juru bicara SDF, Mustefa Bali.
Semenjak kekalahannya, ISIS bak kelompok yang hilang ditelan ombak bigitu pula kelompok pendukungnya. Sebelumnya kelompok ISIS sangat getol mengumandangkan bahwa ISIS sebagai refrensi negara Islam yang kafah dan mengikuti hukum Islam. Wajar, mengingat Kelompok ISIS juga memiliki militan dalam jumlah yang tidak sedikit di Asia Tenggara, termasuk sejumlah pendukung di Indonesia, Afrika Barat, Semenanjung Sinai Mesir, Yaman, Somalia, dan Sahel.
Di Indonesia, kelompok ISIS terbagi menjadi dua bagian. Pertama, kelompok ekstrem yang langsung berbaiat melalui media ataupun secara langsung, seperti kelompok Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan kelompok separatis lainnya. Kedua, individu yang melakukan aksi tanpa intruksi ISIS, namun menghibahkan kesetian ideologi dan condong kepada kelompok ISIS, Al-Qaeda, dan kelompok teroris lainnya, individu seperti ini disebut sebagai teroris lone wolf atau serigala penyendiri.
Jika melihat pergerakan ISIS di kancah global, maka tidak ada negara yang aman dari kelompok ini. Walaupun ISIS dinyatakan sebagai kelompok teroris yang kalah di medan perang oleh tentara sekutu, tetapi harus diingat bahwa simpatisan ISIS berada diberbagai negara serta ditambah oleh simpatisan yang sudah dideportasi oleh pemerintahan Irak. Simpatisan yang kembali kenegaranya biasanya disebut retruneer.
Baca juga : Jaringan Teroris di ASEAN
Budaya Berpikir Kritis Mencegah Paham Teroris
Bagaimana pergerakan geopolitik dan aksi teror kelompok ISIS di kancah global saat ini? Melihat fakta yang ada, bahwa kelompok dan simpatisan ISIS tidak lagi terkordinasi secara langsung. Namun pergerkan lebih didominasi oleh inisiatif sendiri dan individu, mengingat bahwa kelompok ini masih dalam pengawasan oleh pihak berwajib dan intelejen setiap negara.
Walhasil, benar adanya jika kelompok ISIS telah kalah di medan perang, serta terkonfirmasi bahwa pimpinan tertingi ISIS, Abu Bakar al- Bagdadi meningal saat penyerbuan. Namun yang perlu di waspadai adalah kelompok ISIS yang dideportasi kenegara asalnya. Retruneer saat ini diangap sebagai kelompok paling berbahaya oleh setiap negara dan kelompok yang bisa menghidupkan kembali sel-sel tidur teroris yang siap melakukan aksi teror kembali.