Komisaris Utama PT Pertamina (Persero), Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, menyarankan agar pesantren meniru apa yang pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW, yaitu berdagang, di samping berdakwah. Berdagang diyakini Ahok bisa meningkatkan kemandirian ekonomi di pesantren. Hal ini diungkapkan Ahok saat menghadiri acara Milad ke-9 Pesantren Motivasi Indonesia yang digelar secara virtual pada Minggu (28/02/21).
Kiranya, pernyataan Ahok tersebut menjadi pengingat kita bersama bahwa kemandirian ekonomi pesantren memang sudah saatnya menjadi keniscayaan. Pesantren tidak lagi hanya menyebarkan misi dakwah dan pendidikan, tetapi juga pemberdayaan masyarakat demi kemandirian ekonomi pesantren itu sendiri.
Bung Karno jauh-jauh hari telah memberi wasiat kepada anak bangsa bahwa kemandirian ekonomi adalah kunci mencapai keberhasilan. Sigit Aris Prasetyo dalam Bung Karno dan Revolusi Mental (2017), menyatakan kemandirian ekonomi bangsa adalah sebuah impian besar yang selalu dicita-citakan oleh Bung Karno. Bagi Bung Karno, kemandirian ekonomi bangsa bersifat mutlak, terutama jika bangsa Indonesia ingin menjadi negara besar. Lebih lanjut, Sigit menegaskan bahwa kemandirian hukumnya fardhu ain jika bangsa Indonesia ingin tampil sebagai mercusuar dunia dan disegani oleh bangsa-bangsa di dunia.
Dalam hal ini, pesantren juga harus mengambil spirit kemandirian ekonomi yang digagas oleh Bung Karno tersebut. Pesantren akan menjadi besar dan memberi banyak manfaat kepada masyarakat banyak, jika pesantren memiliki kemandirian ekonomi yang kuat dan kokoh. Sebaliknya, jika pesantren tidak memiliki kemandirian ekonomi, justru pesantren itu hanya akan menjadi beban bagi masyarakat sekitar.
Padahal, dalam sejarahnya, pesantren selalu memiliki kontribusi besar bagi masyarakat di sekitarnya. Menurut Aguk Irawan dalam Akar Sejarah Etika Pesantren di Nusantara (2018), pesantren lahir dari dialektika historis manusia dalam ruang dan waktu yang panjang. Kebudayaan, tradisi, dan peradaban pesantren adalah akumulasi dari hasil cipta karya manusia yang kreatif progresif, dan inovatif. Bagi Aguk, pesantren adalah karya orisinil manusia yang mengembangkannya.
Lebih lanjut, Aguk menjelaskan bahwa dibangunnya pesantren di desa-desa, pedalaman, dan pelosok kampung merupakan upaya walisongo dalam memahami falsafah hidup masyarakat Nusantara yang memandang Tanah Air sebagai sumber kesejahteraan. Karena itu, para wali membangun pesantren sebagai tempat belajar dan menimba ilmu dan dalam rangka menebarkan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat di sekitarnya.
Dari sini, pesantren harusnya mengambil spirit perjuangan walisongo di atas, bahwa pesantren lahir dalam rangka menyebarkan dakwah, ilmu, dan manfaat kepada masyarakat di sekelilingnya. Karenanya, pesantren dengan seluruh tradisi dan nilai-nilai luhurnya tidak boleh keluar dari koridor tersebut, yaitu dakwah, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat.
Hal ini juga sejalan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren yang menyatakan ruang lingkup fungsi pesantren meliputi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. Itu artinya, pesantren kini tidak hanya memiliki tugas tanggung jawab dalam mendakwahkan ajaran Islam yang damai rahmatan lil ‘alamin dan memberikan pendidikan yang bermutu kepada para santri, tetapi juga memberdayakan dan memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar, khususnya pada bidang ekonomi.
Atas dasar itu semua, sedikitnya ada tiga alasan, kenapa kemandirian ekonomi pesantren kini menjadi sebuah keniscayaan. Pertama, kemandirian ekonomi adalah ajaran Bapak bangsa kita, Bung Karno. Karena itu, pesantren sebagai sebuah lembaga berbasis masyarakat wajib memiliki kemandirian ekonomi. Kedua, akar sejarah pesantren adalah berdiri pada asas kebermanfaatan dan kemaslahatan umat. Kebermanfaatan dan kemaslahatan itu dapat dicapai salah satunya melalui basis ekonomi yang kuat dan kokoh. Ketiga, amanat undang-undang. Melalui UU Nomor 18 tahun 2019, pesantren diberi tanggung jawab lebih oleh negara, yaitu memberdayakan masyarakat di sekitarnya. Untuk itu, kemandirian ekonomi pesantren menjadi keniscayaan saat ini.
Dalam rangka mencapai kemandirian ekonomi pesantren tersebut, Pesantren Sidogiri di Pasuruan, Jawa Timur dan Pesantren Al-Ittifaq Ciwidey, Bandung, Jawa Barat bisa menjadi role model pengembangannya. Pasalnya, kedua pesantren itu telah menjadikan pesantren tidak hanya sebagai pusat dakwah dan pendidikan, tetapi juga sebagai basis dan pusat ekonomi, baik bagi warga pesantren maupun bagi masyarakat sekitar.
Ke depan, harapannya adalah pesantren memiliki kemandirian ekonomi yang kuat dan kokoh. Lulusan pesantren tidak hanya menjadi santri yang ahli agama dan memiliki ahlak yang baik, tetapi juga harus menjadi penggerak ekonomi di masyarakat. Pesantren dapat menjalankan fungsi dakwah dan pendidikannya tanpa harus menunggu bantuan dari pemerintah dan sumbangan atau uluran tangan dari masyarakat. Justru sebaliknya, pesantren akan membantu ekonomi negara dan masyarakat sekitar menjadi lebih meningkat. Dengan kata lain, pesantren akan menjadi solusi permasalahan yang ada di masyarakat, seperti halnya awal lahirnya pesantren yang bertujuan menebarkan manfaat kepada masyarakat sekitarnya.
Dengan kemandirian ekonomi pesantren, kita akan merasa semakin optimis menatap masa depan bangsa. Pasalnya, pesantren merupakan salah satu sub kultur masyarakat yang memiliki akar sejarah kuat dalam berdirinya negara yang kita cintai ini. Jika pesantren telah menunjukkan kemajuaannya dalam aspek ekonomi, maka saya yakin bangsa ini akan mengikutinya. Karena itu, kemandiran ekonomi pesantren merupakan keniscayaan saat ini yang tak terelakkan.