Hari ini, tawuran opini media sosial diriuhkan dengan jargon “revolusi” yang di usung oleh Riziq Shihab (RS). Ironisnya, jargon tersebut menggunakan kata “akhlak”, yang jika digabungkan menjadi “revolusi ahklak”. Laiknya seorang yang sedang kampanye pada saat pemilu, Riziq Shihab berorasi dengan lantang di tengah kerumunan pendukungnya pada 10 November 2020. Banyak pro dan kontra dengan istilah “revolusi akhlak” ala Riziq Shibab. Pasalnya, dalam orasi tersebut, ia mengatakan lebih menyukai kata “akhlak” karena digunakan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini menjadi pertanyaan menarik sekaligus menggelitik apakah benar wacana Riziq Shihab bisa merevolusi akhlak netizen? Ataukah ini hanya jargon yang dibalut agama untuk sebuah kepentingan tertentu?
Era keberlimpahan informasi (communicative abudance), saya rasa inilah yang menjadi alasan utama dari jargon “revolusi akhlak”. Pertanda dengan melimpahnya informasi melalui berbagai kanal di media sosial, informasi seolah bisa dan mudah dipertukarkan dan di konsumsi oleh publik. Setiap saat, pengguna media sosial terpapar informasi yang dipertukarkan. Polanya tentu sama, memancing penggunanya untuk terlibat dalam ‘tawuran opini’ ditambah gimik-gimik yang penting viral dan menghasilkan ruang publik virtual.
Benang merah pertarungan di dunia digital biasanya sama, yakni operasi propaganda dan perang wacana dengan ragam teknik, sehingga disesaki gelembung isu (bubble issue) yang menguburkan fakta. Di dunia digital, kerap kali kemunculan perang siber dan menjadikan media sosial medan perang asimetris. Kelompok pengguna media sosial dibentur dan diadu domba dengan kelompok lainnya melalui isu berdaya ledakan tinggi, seperti isu kepentingan segelintir orang, atau kelompok tertentu.
Jargon yang digaungkan oleh Riziq Shihab adalah revolusi ahklak sebenarnya masih rancu, sebab gagasan tersebut belum ia jabarkan maknanya secara detail. Meskipun begitu, saya jadi teringat dengan cerita seorang ayah yang melarang anaknya untuk berhenti merokok. Padahal, ayahnya sendiri ternyata merokok. Bahkan parahnya, ayah tersebut melarang anaknya dengan marah-marah dengan melontarkan perkataan kasar. Anaknya tersebut kemudian memberi alasan dengan mengatakan “kan ayah juga merokok?”
Ilustrasi tersebut menunjukkan dua dimensi dalam revolusi akhlak ala Riziq Shihab. Pertama, dengan terus menggaungkan revolusi akhlak sembari kritik pemerintah, melempar isu yang panas di media sosial, dan berdakwah dengan cara melontarkan ujaran kebencian dengan lantang. Maka dari itu, cara ini hampir sama dengan seorang ayah yang meminta anaknya untuk berhenti merokok, akan tetapi ia sendiri adalah seorang perokok berat. Jika Riziq Shihab memakai cara ini, sudah pasti revolusi akhlak yang diorasikan ke publik itu jelas tentu “gagal”.
Hari ini, netizen lebih pintar untuk melihat dan menempatkan mana yang sunguh-sunguh dengan tulus ingin melakukan yang terbaik untuk masyarakat, atau hanya sekadar berbicara tanpa ada substansinya. Meminjam istilah Michael Foucalt (2004) yang mengatakan bahwa, wacana bukan hanya sebagai sebuah rangkaian kata atau proposisi dalam teks, melainkan sesuatu yang memproduksi sesuatu yang lain.
Dalam konteks ini, revolusi akhlak ala Riziq Shihab yang ramai di perbincangankan dan berisikan makna eksplisit merupakan sebuah tandingan yang ingin menggantikan jargon revolusi mental yang sudah digaungkan oleh pemerintah dalam programnya, seperti pembangunan infrastruktur, perubahan dari pendidikan, pemberantasan kemiskinan, dan terobosan lainnya.
Meskipun, dalam sejarahnya mencatat bahwa wacana yang digunakan sebagai alat bagi kepentingan tertentu. Singkatnya, wacana dominan yang muncul adalah revolusi akhlak merupakan bentuk wacana Riziq Shihab yang hanya didukung oleh kelompok organisasi tertentu, yang mana di sini adalah para pendukung Riziq Shihab, akan tetapi, sayangnya wacana revolusi akhlak tersebut berpotensi menjadi omong kosong dan terpinggirkan.
Knowledge (Foucault, 2004wacana bukan hanya sebagai sebuah rangkatan kata atau proposisi dalam teks, melainkan sesuatu yang memproduksi sesuatu yang lain.
Kedua, ide baru Riziq Shihab yang ingin merevolusi akhlak masyarakat, seharusnya ia bisa menjadi contoh akhlak yang baik terlebih dahulu. Laiknya sosok ideal seperti Nabi Muhammad SAW yang budi pekerti dan karakternya bisa menjadi teladan dalam kehidupan. Rizieq Shihab harus memiliki akhlak yang sempurna. Maka dari itu, apakah Riziq Shihab sudah menjadi manusia yang sempurna? padahal sebenarnya, tidak ada manusia yang sempurna, sebagai manusia yang terus berusaha dengan maksimal untuk memperbaiki akhlaknya setiap hari.
Sebenarnya, yang dibutuhkan manusia bukan banyaknya nasehat atau omong kosong yang tak ada substansinya, sebab yang dibutuhkan manusia itu adalah teladan, seperti seorang anak yang diilustrasi tersebut pasti dia akan meniru apa yang yang dilakukan dan diucapkan oleh ayahnya. Padahal ayahnya tidak pernah mengajarkan hal seperti itu, akan tetapi karena seorang anak ini melihat dan mengamati lalu meniru, maka dari itu seorang anak menjadi duplikat dari figur ayahnya.
Sama halnya dengan netizen, yang dibutuhkan adalah teladan, sebab netizen butuh teladan yang bisa menjadi contoh yang baik. Seperti teladan agar tidak melontarkan ujaran kebencian, teladan agar tidak menyebarkan fitnah, teladan agar tidak menyebarkan berita bohong, dan lain sebagainya. Maka dari itu, bagaimana Rizieq Shihab akan merevolusi akhlak jika pribadinya sendiri tidak berjalan ke arah penyempurnaan diri. Minimal, menjadi pribadi yang teduh ketika berdakwah sebagaimana yang beredar dalam video ceramahnya di media sosial, tidak mencaci dan memaki, serta tidak menyebarkan ujaran kebencian kepada agama, atau kelompok minoritas lainnya.
Misalnya, sebagai contoh penistaan agama yang dilontarkan pada ceramah Riziq Shihab yang melecehkan umat Kristen. Dalam isi ceramahnya di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, berdasarkan tayangan video yang diunggah oleh SR melalui akun Twitter dan AF melalui akun Instagramnya. Ia mengatakan dengan mencela (melalui kata-kata) “Kalau Tuhan beranak, bidannya siapa”. Pada 26 Juni 2016 (BBC.com). Dalam konteks ini, semestinya Riziq Shihab melakukan revolusi akhlak diri sendiri terlebih dahulu. Minimal dengan ceramahnya yang ramah dan santun.
Dengan demikian, netizen yang budiman berhati-hati lah dengan jargon revolusi akhlak yang diusung oleh Riziq Shihab, sebab bisa jadi jargon yang indah, meskipun dibalut dengan agama itu ternyata di dalamnya ada kepentingan pribadi politik yang busuk. Berhati-hatilah!