Kolom

Myanmar dan Ancaman Matinya Demokrasi

2 Mins read

Kudeta bukanlah hal baru dalam sejarah kekuasaan. Setidaknya, hampir sebagian bangsa di dunia mengenal atau bahkan menjadi saksi sejarah pengkudetaan. Di Indonesia, kudeta bukan lagi hal asing. Sebab, sejarah panjang Nusantara menggambarkan bagaimana di setiap masa kekusaan berakhir sebab akibat kudeta. Namun, bagi kita, kudeta merupakan sejarah kelam yang menjadi pelajaran, jika konflik kekuasaan bukanlah segalanya. Sebab, yang terpenting adalah kemaslahatan bersama. Sekarang, kita dapat menikmati buah hasil daripada kebebasan dan kemerdekaan, yakni demokrasi.

Konflik di Myanmar satu bulan terakhir, karena kudeta yang dilancarkan oleh Junta Militer terhadap pemerintahan sipil cukup disayangkan. Masa transisi demokrasi Myanmar yang masih belia, kembali terancam di ambang kematian di tangan besi Junta. Myanmar menjadi satu-satunya negara ASEAN yang masih terjerembab dalam konflik nasional. Konflik kekuasaan antara militer dan sipil yang berkepanjangan belum juga menemukan titik temu. Persoalannya satu, Myanmar tidak pernah belajar dari sejarah.

Tercatat, ini bukan kali pertama militer melakukan kudeta kekuasaan. Pada tahun 1962 untuk kali pertama militer merebut kursi kekuasaan dari pemerintahan sipil, yakni U Nu. Yang kemudian mengantarkan militer langgeng memegang kekuasaan. Aksi penggulingan Junta Militer terhadap pemerintahan sipil, baik pada masa U Nu maupun Aung San Suu Kyi, mungkin bukanlah hal sulit. Akan tetapi, sedemikian mudahnya Militer mengambil alih kekuasaan tanpa sedikit pun melibatkan proses demokrasi di dalamnya melahirkan dan membentuk pola kekuasaan yang bersifat tirani. Efeknya, demokrasi akan mati. Sebab, kudeta Militer terhadap pemerintahan sipil di era ini merupakan langkah kemunduran. Levitsky dan Ziblatt dalam How Democracies Die (2019), mengatakan, di semua kasus itu, demokrasi hancur secara spektakuler melalui kekuatan militer dan pemaksaan.

Dari sejarah dunia kita melihat, pengalaman politik praktis di banyak negara menunjukkan, bahwa kudeta militer yang berlanjut masuknya militer di ranah pemerintahan banyak terjadi di weak states. Negara yang tidak atau belum memiliki kultur serta pelembagaan politik demokrasi yang kuat dan mapan. Weak states ditandai dengan kondisi tidak stabilnya politik dan keamanan negara bersangkutan dan seringnya terjadi pembusukan politik. Hal semacam ini yang alpa dari kesadaran pemerintahan sipil Myanmar selama ini. Tentu, ini adalah sebuah kritik terhadap semua pemerintahan sipil di dunia, termasuk Indonesia.

Berangkat dari latar belakang politik dan keamanan seperti itu, yang kemudian dijadikan alasan militer masuk ke ranah politik negara bersangkutan. Dengan dalih menciptakan, apa yang disebut create stability, order, and legitimacy. Argumentasi politik seperti ini, yang menjadi modal politik Junta Militer dalam misi pengkudetaan awal Februari lalu. Sayangnya, alih-alih kudeta terjadi sebagai representasi aspirasi rakyat terhadap ketidakpuasannya terhadap pemerintaha, yang terjadi malah sebaliknya. Kudeta Junta Militer sama sekali tidak merujuk pada aspirasi yang berlandas pada kesadaran politik murni rakyat.

Bagaimanapun juga, kudeta militer adalah cara kuno untuk mematikan demokrasi. Strategi politik untuk mendegradasi dan mematikan demokrasi ini telah berlangsung ribuan tahun lalu. Dan tidak lagi relevan diterapkan era ini. Apa yang terjadi di Myanmar menjadi memori buruk abad ini. Harapannya, Myanmar lekas melewati krisis demokrasi, kembali pada jalur demokratisasi, dan membiarkan rakyat merdeka dengan kebebasaanya sebagai manusia seutuhnya.

Cukuplah Indonesia pada 1967, Chille pada 1973, Mesir pada 2013, dan beberapa negara lainnya yang memiliki sejarah kelam pengkudetaan oleh militer. kudeta menyebabkan hampir tiga dari empat kehancuran demokrasi. Demokrasi di Argentina, Brazil, Ghana, Guatemala, Nigeria, Pakistan, Peru, Thailand, Turki, Uruguay, dan Yunani mati dengan cara dikudeta. Jangan sampai Myanmar menjadi negara berikutnya.

Related posts
KolomNasihat

Cara Berpikir Kritis ala Ibnu Khaldun

Menjadi Muslim, bukan berarti pasif menerima kehendak ilahi, melainkan berada dalam keadaan kritis yang konstan. Berpikir kritis adalah bagian penting dari warisan…
Kolom

Covid-19, Kegentingan yang Semakin Nyata

Kasus positif Covid-19 di Indonesia kembali mencetak rekor tertinggi sejak pandemi karena pertama kalinya menembus angka 20.574 kasus perhari pada Kamis (24/6/2024)….
Dunia IslamKolomNasihat

Demokrasi Pancasila itu Islami

Demokrasi memang telah mengantarkan Dunia Barat mencapai kemajuan menuju kemakmuran bagi rakyatnya. Namun, bagaimanapun demokrasi sebagai sebuah sistem pembangunan negara belum mencapai…